A. Fakta yang Terjadi
Berbagai upacara mandi yang ditemukan di lapangan ialah upacara mandi menjelang kawin pertama kali, upacara mandi bagi seorang wanita yang pertama kali hamil, berbagai upacara mandi sebaagi cara penyembuhan, dan mandi sebagai salah satu syarat atau bentuk amalan.
Tidak semua wanita yang hamil pertama kali harus menjalani upacara mandi. Konon yang harus menjalaninya ialah yang keturunannya secara turun temurun memang harus menjalaninya. Pada upacara mandi hamil, mungkin si calon ibu sebenarnya bukan tergolong yang wajib menjalaninya, tetapi konon bayi yang dikandungnya mungkin mengharuskannya melalui ayahnya dan dengan demikian si calon ibu ini pun harus menjalaninya pula.
Lalai melakukan upacara itu konon menyebabkan yang bersangkutan atau salah seorang anggota kerabat dekat “dipingit”. Sebagai akibat peristiwa “pemingitan” itu proses kelahiran berjalan lambat.
Seperti sudah dikemukakan di atas, tidak semua wanita hamil pertama kali harus melakukan upacara mandi. Yang harus melakukannya hanyalah mereka yang memang keturunan dari orang-orang yang selalu melaksanakannya.
Namun dalam kenyataannya banyak ibu-ibu muda yang melaksanakan upacara itu dalam bentuknya yang sangat sederhana, meskipun konon sebenarnya tidak ada keharusan baginya untuk melakukan hal itu.
1. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak lama sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun bulan, khususnya pada hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab.
Apabila karena sesuatu hal upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut, pelaksanaannya ditunda pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus dilaksanakan pada waktu turun matahari, upacara ini biasanya dilakukan sekitar jam 14.00 dan tidak pernah setelah jam 16.00. Secara darurat upacara mandi ini pernah dilaksanakan di Dalam Pagar, yaitu pada saat si wanita sudah hampir melahirkan. Si wanita ini sudah lama sakit akan melahirkan, dan oleh bidan yang menolongnya dinyatakan bahwa meskipun si wanita bukan keturunan yang harus melakukan upacara itu, tetapi si bayi mengharuskannya melalui ayahnya.
Oleh karena itu upacara mandi secara darurat dilaksanakan, yaitu hanya sekedar menyiram dan memerciki si ibu dengan banyu baya. Segera setelah selesai dimandikan tersebut konon lahirlah bayinya.
2. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Para informan di Dalam Pagar menyatakan upacara ini harus dilaksankan di dalam pagar mayang. Pada upacara yang berhasil diamati di Akar Bagantung dan Teluk Selong (1979), pagar mayang memang digunakan, tetapi pada upacara mandi yang dilaksanakan di Dalam Pagar (1980) tidak dibangun pagar mayang, melainkan cukup dilaksanakan di atas palatar belakang.
3. Pihak yang Terlibat dalam Upacara
Pihak yang terlibat dalam upacara ini di antaranya:
• Orang tua dari kedua belah pihak baik itu ibu kandung atau ibu mertua.
• Saudara-saudara, kerabat-kerabat seperti julak (saudara ibu), uma kacil (adik ibu) dan begitu pula dari pihak mertua.
• Di pimpin oleh bidan kampung (dukun beranak) dan Tuan Guru (mualim) yang membacakan doa selamat setelah upacara berakhir.
Selain pihak-pihak di atas masih ada yang terlibat dalam upacara tersebut, yakni para undangan yaitu wanita-wanita tetangga dan kerabat dekat, umumnya terdiri dari ibu-ibu muda dan wanita-wanita muda yang sudah kawin. Wanita-wanita tua yang hadir biasanya adalah mereka yang banyak tahu tentang upacara ini atau karena diperlukan untuk membantu bidan melaksanakannya.
4. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Upacara mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau “wadai ampat puluh”. Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan lebih. Wadai 40 ini terdiri dari: apam (putih dan merah), cucur (putih dan merah), kawari, samban, tumpiangin (sejenis rempeyek di Jawa, tetapi kali ini tidak menggunakan kacang tanah melainkan kelapa iris), cicin (cincin, perhiasan dipakai di jari, dua jenis dan tiga warna), parut hayam (perut lilit ayam, tiga warna), sarang samut (sarang semut, tiga warna), cangkaruk (cengkaruk), ketupat (empat jenis), nasi ketan putih (dengan inti di atasnya), wajik, kokoleh (putih dan merah), tapai, lemang, dodol, madu kasirat (sejenis dodol tapi masih muda), gagati (empat jenis), dan sesisir pisang mahuli.
Sedangkan hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti) dan apam dari wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dan sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau hidangan lainnya. Tetapi di Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu) menghidangkan bubur ayam, yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula. Dapat diduga meskipun terdapat kesamaan dalam jumlah jenis penganan yang harus dihidangkan pada upacara mandi hamil di Martapura namun terdapat perbedaan tentang keharusan adanya jenis-jenis penganan tertentu tergantung pada kerabat yang melaksanakannya. Pada upacara mandi yang diamati di Dalam Pagar terdapat detail-detail seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.
Kue apam dan cucur, masing-masing berwarna merah dan putih, adalah kue-kue yanag biasa dipergunakan sebagai syarat upacara batumbang, yang dilaksanakan setelah upacara mandi selesai. Kue samban dan kawari merupakan lambang jenis kelamin bayi yang akan lahir. Samban melambangkan jenis kelamin perempuan dan kawari melambangkan jenis kelamin pria. Apam, cucur, kokoleh, wajik, nasi ketan, dodol dan madu kasirat merupakan kue-kue yang harus ada karena menggunakan air sungai Kitanu. Nasi ketan kuning dan telur rebus di atasnya merupakan sajian untuk buaya kuning yang konon (dahulu) menghuni sebuah lubuk dekat balai padudusan di tepi sungai Kitanu. Kue gagati jumlahnya harus sembilan dan ketupat jumlahnya harus tujuh. Tidak berhasil diungkapkan untuk siapa disajikan dan mengapa harus sembilan dan tujuh, sedangkan kue-kue lainnya tidak harus demikian.
Di Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan, diletakan perapen, dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau bejana plastik berisi air tempat merendam mayang pinang (terurai), beberapa untaian bunga (kembang berenteng), sebuah ranting kambat, sebuah ranting balinjuang dan sebuah ranting kacapiring. Sebuah tempat air yang lebih kecil berisi banyu baya, yaitu air yang dimantrai oleh bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air yang dibacakan surah Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang dibacakan syair Burdah. Selain itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat sebuah gelas berisi air (banyu) sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini terdapat juga kasai (bedak, param) temugiring dan keramas asam jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai tempat duduk si wanita hamil itu diletakan sebuah kuantan (sejenis panci terbuat dari tanah yang diletakan tengkurap dan di atasnya diletakan bamban (bamban bajalin). Merupakan alat mandi pula ialah mayang pinang yang masih dalam seludangnya, kelapa tumbuh (berselimut kain kuning), benang lawai dan kelapa muda.
Untuk keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah akan diserahkan kepada bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses kelahiran, dan sebuah lagi sebagai syarat upacara. Yang pertama dilengkapi dengan rempah-rempah dapur, sedangkan yang sebuah lagi termasuk di dalamnya alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung berwarna kuning. Konon jenis kelamin ayam harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang akan lahir, sehingga praktis tidak mungkin disediakan, dan demikian pula alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan biasanya juga belum tersedia, namun harus tegas dinyatakan sebagai ada. Bagian dari piduduk yang belum tersedia ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat menyediakan barang yang belum ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang dihidangkan kepada hadirin setelah upacara selesai.
5. Proses Upacara
Wanita hamil yang diupacarakan memakai pakaian yang indah-indah dan memakai perhiasan, duduk di atas lapik di ruang tengah sambil memangku sebiji kelapa tumbuh yang diselimuti kain kuning menghadapi sajian wadai ampat puluh. Setelah beberapa lama duduk dengan disaksikan oleh para undangan wanita, perempuan hamil itu turun ke pagar mayang sambil menggendong kelapa tumbuh tadi. Ketika ia turun ke pagar mayang, ia menyerahkan kelapa yang digendongnya kepada orang lain, bertukar pakaian dengan kain basahan kuning sampai batas dada, lalu duduk di atas bamban bajalin, sedemikian sehingga kuantan tanah langsung remuk. Para wanita tua yang membantunya mandi (jumlahnya selalu ganjil, sekurang-kurangnya tiga dan paling banyak tujuh orang dan seorang di antaranya bertindak sebagi pemimpinnya, yaitu biasanya bidan) menyiraminya dengan air bunga, membedakinya dengan kasai temugiring lalu mengeramasinya.
Selanjutnya para pembantunya itu berganti-ganti mamapaikan berkas mayang, berkas daun balinjuang dan berkas daun kacapiring kepadanya dan kadang-kadang juga kepada hadirin di sekitarnya. Proses berikutnya ialah menyiramkan berbagai air lainnya, yaitu banyu sungai Kitanu, banyu baya, yang telah dicampur dengan banyu Yasin atau banyu doa, dan banyu Burdah. Setiap kali disiram dengan air-air tersebut, si wanita hamil diminta untuk menghirupnya sedikit.
Sebuah mayang pinang yang masih belum terbuka dari seludangnya diletakkan di atas kepala wanita hamil tersebut lalu ditepuk, diusahakan sekali saja sampai pecah. Mayang dikeluarkan dari seludangnya lalu diletakkan di atas kepala wanita hamil dan disirami dengan air kelapa muda tiga kali berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga airnya harus dihirup oleh wanita hamil itu.
Kemudian diambil dua tangkai mayang dan diselipkan di sela-sela daun telinga si wanita hamil masing-masing sebuah. Lalu dua orang perempuan tua membantunya meloloskan lawai dari kepala sampai ke ujung kaki, tiga kali berturut-turut. Untuk melepaskan lawai dari kakinya, pada kali yang pertma ia melangkah ke depan, kali yang ke dua melangkah ke belakang dan terakhir kembali melangkah ke depan.
Sesudah itu badannya dikeringkan dan ia berganti pakaian lalu keluar dari pagar mayang. Di luar telah tersedia sebiji telur ayam yang harus dipijakinya ketika melewatinya. Ketika ia keluar untuk kembali ke ruang tengah ini dibacakan pula shalawat berramai-ramai. Di ruang tengah si wanita hamil itu kembali duduk di atas lapik di hadapan tamu-tamu, disisiri dan disanggul rambutnya. Pada saat itu juga di tepung tawari, yaitu dipercikan minyak likat beboreh dengan anyaman daun kelapa yang dinamakan tepung tawar.
Setelah itu lalu batumbang dibacakan doa selamat oleh salah seorang hadirin. Sementara itu si wanita hamil menyalami semua wanita yang hamil menyalami semua wanita yang hadir, lalu masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu hidangan pokok diedarkan dan kemudian ditambah dengan hidangan tambahan berupa nasi ketan (dengan inti), apam, cucur dan kue-kue lainnya yang sebelumnya dipamerkan sebagai saji. Sebagian kue saji harus disiapkan untuk dibawa pulang oleh bidan dan perempuan-perempuan tua yang tadi membantu si wanita hamil itu mandi.
Untuk melaksanakan upacara ini kadang-kadang ada juga dengan meminta banyu (air) baya kepada seorang bidan, membuat banyu(air) Yasin sendiri yang kemudian dicampur dengan bunga-bungaan dan melakukan sendiri upacara di rumah yang dibantu oleh wanita-wanita tua yang masih berhubungan kerabat dekat dengannya atau dengan suaminya.
Sebagai syarat melaksanakan upacara mandi ini disiapkan nasi ketan dengan inti, yang dimakan bersama setelah upacara selesai. Upacara mandi yang demikian sederhana ini sebenarnya juga dilaksanakan pada kehamilan ketiga, kelima dan seterusnya di Dalam Pagar dan sekitarnya, khususnya apabila terdapat kesukaran pada kehamilan sebelumnya.
B. Pandangan dalam Agama Islam
Kalau kita cermati secara logika dalam pandangan ekonomi saja hal yang dilakukan tersebut hanya membuang – buang uang dan biaya saja tanpa ada hasil yang nyata. Mending ditabung saja untuk membiayai persalinan kelak.
Dalam agama Islam Rasullulah shalallahu ‘alaihiwasallam tidak pernah mencontohkan waktu istri beliau atau istri sahabat beliau melahirkan disuruh untuk melakukan upacara bamandi - mandi.
Kalau Rasullullah shallallahu ‘alahiwasallam atau sahabat tidak pernah mengerjakan yang namanya bemandi-mandi, lalu orang islam sekarang mengerjakan hal itu,yang sebenarnya tidak diperintahkan oleh agama.
Ditambah lagi hal tersebut itu merupakan perbuatan syirik, Dimana mempercayai dengan makhluk gaib, secara tidak langsung kita dapat dikatakan menuhankannya.
Ulama yang memang mengikuti sunnah Rasul mengatakan bahwa, mengadakan acara selamatan bamandi – mandi tujuh bulanan tersebut adalah mengikuti orang Hindu
Dalam kitab Perukunan atau Kitab Syaikh Muhammad Arsyad al-banjari (Datu Kelampayan) yang bernama Sabilah Muhtadin, tidak ada didalamnya, umat islam disuruh untuk bamandi –mandi , menyediakan sesajen.
C. Kesimpulan
Islam adalah agama samawi atau agama wahyu. Dasar-dasar hukum Islam adalah Alquran sebagai kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang telah diterima Nabi Muhammad saw. Dasar hukum yang kedua adalah apa-apa yang telah dilakukan, diucapkan, dan disetujui Rasul sebagai contoh untuk melakukan Alquran tersebut, yang selanjutnya disebut hadit.
Dasar hukum ketiga adalah ijmak dan kias. Keduanya baru dilakukan manakala ada keharusan penetapan hukum sementara tidak ditemukan aturannya baik dalam Alquran ataupun hadit.
Walaupun begitu, hukum Islam mengenal dan membenarkan hukum adat. Para ahli usul fikih menerima adat yang dalam bahasa fikih disebut dengan urf dengan batasan sebagai sesuatu yang dilakukan atau diucapkan berulang-ulang oleh banyak orang, sehingga dianggap baik dan diterima jiwa dan akal yang sehat. Dalam hal akidah dan ibadah urf tak lazim digunakan, sementara para ahli usul fikih yang menerima cenderung untuk membatasinya dalam masalah masalah muamalah.
Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang menetapkan hukum tentang hubungan seseorang dengan orang lain, baik secara pribadi maupun berbentuk badan hukum. Dalam istilah fikih disebut al-syakhsiyyah al-itibariyyah. Muamalah meliputi jual beli, sewa menyewa, dan perserikatan.
Memang ada perbedaan prinsip antara akidah dan muamalah. Dalam akidah, semua akan dilarang kecuali hal yang diperintahkan. Sedangkan dalam muamalah semuanya boleh kecuali hal yang dilarang. Dengan demikian, dalam hal hukum muamalah, menerima hukum adat adalah sesuatu yang legal.
Namun, kita sebagai umat islam, harus cermat dalmam memahami berbagai macam adat yang ada di lingkungan kita apakah itu sesuai dengan ketentuan islam dan boleh dikerjakan, ataukah adat tersebut melanggar syariat islam dan menjerumuskan kita pada dosa.
Seperti upacaya bamandi mandi dan membuat sesajen yang secara tidak langsung atau sersirat hal tersebut merupakan suatu perbuatan syirik yang mana kita kenal, bahwa syirik merupakan salah satu dosa besar.
Dengan demikian, dalam menetapkan hukum Islam hukum adat dapat dijadikan latar hukum Islam. Para pelaku penetap hukum Islam (mujtahid) harus mempertimbangkan hukum adat dalam menetapkan hukum Islam seperti kesepakatan ahli hukum Islam (fukaha) yang menetapkan rumus dalam ilmu fikih addah muhakkamah (hukum adat dapat dijadikan landasan hukum Islam), dan juga rumus lain al-maruf urfan ka al-masyrut syartan (yang baik itu menjadi kebiasaan, sama halnya dengan yang disyaratkan menjadi syarat).
Rumus-rumus tersebut barangkali yang digunakan para Walisongo dalam menetapkan ajaran-ajarannya di Indonesia, sehingga dakwah saat itu lancar adanya. Kebiasaan lama menyangkut masalah tradisi masyarakat yang penganut Hindu dan animisme sebagian masih dipertahankan. Sayang, Walisongo belum tuntas bekerja, banyak akidah yang masih tercampur- baur sementara tantangan internal dan eksternal semakin bertumpuk, sedangkan kerajaan semakin melemah. Hal tersebut kiranya menjadi PR bagi kita semua.
Sumber :
http://ummusalwaa.blogspot.com/tradisi-urang-banjar.html Pada 25 Oktober 2011
http://zipoer7.wordpress.com/budaya-adat-bamandimandi-banjar.html Pada 25 Oktober 2011
http://hukum-adat-dalam-hukum-islam.html Pada 30 November 2011